Sabtu, 27 September 2008

Sri Sultan Hadiri Dies Natalis UAJY

Winda Angelita - Teras Online

Babarsari (27/09/08) -- Tepat pukul 09.00 WIB acara Dies Natalis ke-43 UAJY dimulai. Tema yang diangkat adalah "Setia pada Cita-Cita dan Tekun dalam Pengabdian untuk Membangun Keunggulan yang Berkelanjutan".

Upacara Dies Natalis yang diadakan di Auditorium Kampus Dua UAJY ini berlangsung khusyuk dan dihadiri oleh beberapa tamu penting. Seperti Sri Sultan Hamengku Buwono X.

Pada kesempatan itu Sri Sultan hadir dengan memberi orasi budaya. Selain itu, dalam acara ini juga disampaikan pidato ilmiah seputar krisis pengelolaan energi global yang disampaikan oleh Profesor Prisasto Satwiko. "Masalah energi dan kerusakan keadaan lingkungan bumi saat ini dapat diatasi secara efektif bila setiap pribadi mau mengubah gaya hidup, terutama menu makanan," ujarnya.

Di acara ini UAJY juga memberikan penghargaan kepada karyawan UAJY yang mengabdi selama 25 hingga 30 tahun. Tak ketinggalan mahasiswa yang terlibat aktif di masing-masing program studi dan UKM turut diberi penghargaan. Prosesi ini lalu ditutup dengan doa oleh Romo Gito Wiratmo.(og)
(selengkapnya...»)

Senin, 22 September 2008

Bagaimana Nasib RUU APP?

Winda Angelita – Teras Online

Malioboro (22/09/08) Demo menolak RUU AP kembali digelar. Siang tadi sekitar pukul 14.00 WIB kota Jogja mendapat ‘giliran’-nya. Demo yang dilaksanakan tepat di depan Gedung Agung Yogyakarta berlangsung damai dan dihadiri oleh beberapa elemen masyarakat. Mereka memiliki beraneka ragam tuntutan.

Layaknya mengantri sembako, para aktivis elemen masyarakat menunggu waktu untuk berorasi di atas panggung sederhana yang telah disediakan. Jalan Malioboro pun penuh oleh masyarakat dan massa aksi.

“Jangan biarkan kebudayaan seni kita dikekang olah RUU AP!” seru Linda salah satu peserta demonstrasi, yang disambut meriah oleh massa yang sebagian besar adalah seniman. Seruannya mengawali rangkaian orasi menanggapi hadirnya RUU AP. Dalam orasinya, Linda juga menyuarakan hak-hak perempuan, di mana perempuan selalu menjadi kambing hitam atas tindakan eksploitasi yang diterima oleh kaum hawa.

Pada aksi damai ini, terlihat beberapa seniman Yogyakarta ikut turun ke jalan. Salah satunya adalah Djaduk Ferianto yang di akhir demo memimpin para demonstran menyanyikan lagu Indonesia Raya. Untuk mengakhiri demonstrasi sore itu, dibacakan pernyataan sikap dari para demonstran. Salah satu poinnya menekankan bahwa prinsip-prinsip dasar tata pemerintahan yang baik adalah dengan merestorasi perangkat hukum yang ada.

Dengan mengesahkan RUU AP tanpa memperhatikan pemerintahan dan perangkat hukum yang ada, implementasi dari UU tersebut tidak akan berjalan efektif.(og)
(selengkapnya...»)

Sabtu, 20 September 2008

Ketika 'Suara Malam' Berbicara.

Dany Ismanu - Teras Online

Babarsari (20/09/08) -- Sociologi Study Club (SSC) Universitas Atma Jaya Yogyakarta menandai perayaan hari ulang tahunnya dengan pemutaran dan diskusi film "Menggugat Lewat Suara Malam". Pemutaran dan diskusi film dilangsungkan siang tadi (20/09), di ruang kelas 4006 FISIP UAJY pada pukul 10.00 WIB.

Menggugat Lewat Suara Malam, sebuah film pendek yang berkisah tentang kehidupan pekerja seks komersil (PSK) kawasan Yogyakarta. PKBI sebagai LSM yang terkait, menjadi mediator bersama dengan kawan-kawan dari Kotak Hitam. Menariknya, proses pembuatan atau produksi film ini diserahkan sepenuhnya kepada para pekerja seks. Merekalah sutradara, penulis naskah, kameramen, sekaligus 'artis'-nya.

"Sulit mas, setelah skenario jadi, kita bersikukuh, kita tidak akan malu bahwa kita adalah lacur," ungkap Bety sang sutradara, di sela-sela diskusi. Kesulitan utamanya memang meyakinkan para PSK yang akan diajak terlibat dalam proses pembuatan film. "Saya kagum dengan teman-teman, mereka dapat mempersuasi teman-teman yang lain untuk ikut berpartisipasi," ujar Andrew koordinator SSC, sekaligus orang yang terjun langsung sebagai fasilitator dalam proses produksi.

Proses praproduksi sendiri diawali dengan workshop dan sebuah forum yang dilangsungkan di kawasan Pasar Kembang, Yogyakarta. "Di sana kita mengkategorikan permasalahan, dari seputar HIV, kanker, permasalahan kesehatan lainnya, stigma dari masyarakat, sampai dengan HAM dalam arti perlakuan terhadap PSK," jelas Andrew. Yang kemudian menjadi fokus utama adalah bagaimana perlakuan (kekerasan) yang diterima PSK, baik dari keluarga, masyarakat, terutama peran Satpol PP yang sering melakukan razia.

Film ini banyak bercerita tentang kerasnya perlakuan Satpol PP ketika melakukan razia malam hari. Dijambak, diseret, dicubit, bahkan dipukul, seakan menjadi biasa mendarat pada tubuh para PSK ketika mereka terkena razia. Film ini pun mencoba mengkritik hal tersebut dan lebih luas lagi PERDA pelacuran yang berlaku di Yogyakarta.

"Ini dari kita, untuk kita, dan untuk penerus kita," kenang Bety ketika berusaha meyakinkan kawan-kawannya untuk dapat ikut terlibat. "Walaupun kita PS (pekerja seks -red) kita tidak ingin dipandang sebelah mata," lanjutnya.

Menurut Andrew sendiri, film atau video ini memang dipatok hanya menjadi sebuah medium dan awalan serta eksklusif untuk komunitas. Advokasi lebih lanjut mengharapkan partisipasi masyarakat luas yang memang tidak mudah.(dny)
(selengkapnya...»)

Ketoprak Mahasiswa "Jambul Kromoyudho"

Dany Ismanu - Teras Online

Babarsari (20/09/08) -- Bunyi bambu menggema di lobi kampus 2 Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Para pemeran pasukan sedang berlatih sesaat sebelum naik pentas. Ketoprak mahasiswa bertajuk "Jambul Kromoyudho" dipersembahkan sebagai rangkaian acara Dies Natalis Universitas yang ke 43. Pagelaran itu berlangsung di halaman parkir gedung kampus 2 UAJY, malam ini tepat pukul 21.00.

"Jambul Kromoyudho merupakan cerita rakyat dari Jawa Timur yang memiliki banyak makna tentang pendidikan bermasyarakat," jelas Sukisno, pelatih UKM Teater Lilin UAJY sekaligus sutradara dalam lakon kali ini. Ketoprak ini juga dimeriahkan oleh 4 seniman lawak khas Yogyakarta yaitu Marwoto Klewer, Bambang Rabies, Yu Beruk, dan tidak ketinggalan Didik Nini Towok yang akan mempersembahkan sebuah tarian.

Episode yang diambil adalah 'milik nggendong lali'. Sebuah ungkapan jawa yang memiliki filosofi bahwa ketika manusia sudah berhasil mendapatkan atau terkabul keinginannya, hendaknya tidak lupa terhadap apa yang telah dan ada di belakangnya dahulu. Bahwa manusia tidak berkembang sendiri dan sedikit banyak mendapat pengaruh dari pengalaman itu sendiri. "Ketika mendapat kuasa, jangan bermain kuasa, ketika mendapat wewenang, jangan sewenang-wenang," ungkap Sukisno ketika diwawancarai Teras sesaat sebelum pementasan.

Alkisah ada seorang lelaki, tinggal di desa, miskin dan memiliki istri serta anak, juga tinggal dengan paman dan ayahnya sendiri. Lelaki ini bernama Kromo. Kemelaratan yang diderita keluarga ini memaksa Kromo memutar otak. Lalu tibalah saat yang ditunggu. Beberapa pasukan yang diutus oleh Adipati Cokrobaskoro membawa sayembara ke semua wilayah Kadipaten Kembangsore. "Siapa yang berhasil mengusir Cokrolintang (Senopati yang mengkudeta Cokrobaskoro -red), akan diangkat menjadi Senopati," seru sang pengawal. Hal ini dilihat Kromo sebagai peluang untuk meningkatkan derajat hidup keluarganya.

Berangkatlah Kromo menuju Kadipaten untuk mengusir Cokrolintang yang kala itu berkuasa. Satu pesan ayahnya adalah jangan sekali kali melupakan keluarga dan semua yang telah dilewati, bahwa asal usul kita harus teringat kuat untuk bisa hidup dengan tenteram. Kromo berhasil menaklukan Cokrolintang dan segeralah ia diangkat menjadi senopati oleh Adipati yang kembali berkuasa, Cokrobaskoro. Dalam kelanjutannya, Kromo dianugrahi nama menjadi Kromoyudho. Ia kemudian kalut dan menafikkan bahwa ia memiliki keluarga di desa. Berbohonglah ia kepada Adipati agar dapat menikahi putri sang adipati.

Kebohongan Kromo terbongkar oleh sang putri ketika semua keluarganya datang ke Kadipaten untuk mencari dia. Namun semua keluarganya malah diusir oleh Kromo dengan kasar. Alih-alih akan menerima Kromo apa adanya, sang putri memancing Kromo untuk berbicara. Kromo akhirnya mengakui kebohongannya, dan sang putri pun malah mengadu kepada Adipati. Kromo diusir secara tidak hormat dan kembali ke desa seperti keadaan semula. Keluarga Kromo akhirnya tetap menerima dan berbesar hati, kemudian kembali hidup miskin namun dengan sahaja.

Ketoprak ini merupakan persembahan kawan-kawan mahasiswa sendiri. "Mahasiswa 90%," tegas Sukisno. Pun tidak ada proses seleksi pemain, ketika banyak yang berminat, mau tidak mau akan dicarikan peran, sehingga minatnya dapat tersalurkan. Ini yang juga menjadi alasan para seniman Yogyakarta turut berpartisipasi, minat anak muda melestarikan budaya harus didukung dan dijaga.

Yu Beruk, Marwoto, Bambang Rabies mengocol perut penonton dengan lawakan segarnya. Didik Nini Towok tidak ketinggalan ikut mempersembahkan sebuah tarian dengan topeng-topeng yang memiliki karekter tersendiri.(dny)
(selengkapnya...»)