Senin, 04 Agustus 2008

Khusyuk di Labuhan Merapi

Hendy Adhitya - Teras online

Yogyakarta (04/08/08) -- Ratusan pengunjung telah berkumpul di lereng Merapi, tepatnya di kawasan Paseban Labuhan Dalem. Hawa dingin pagi yang menusuk tak menyurutkan niat mereka melakukan ritual Labuhan Merapi. Kurang lebih satu jam kemudian Mbah Maridjan, juru kunci Merapi, datang bersama rombongan abdi dalem keraton lain.

Semua orang dalam kerumunan mempersilakannya lewat. Mbah Maridjan segera duduk bersila di depan pendopo berukuran 3 x 3 meter. Sementara penghulunya menyiapkan sesajen.

Setelah semua kelengkapan semah dicek, Mbah Maridjan memecah keramaian suara pengunjung dengan salam pembuka. Semua menjadi hening. Mendengarkan Surakso Hargo (nama lain Mbah Maridjan-pen) dengan penuh seksama.

Semua wartawan dan fotografer yang meliput diingatkan Mbah Maridjan untuk tidak melakukan pemotretan. Karena ritual sakral ini membutuhkan konsentrasi dan keheningan.

Pembacaan doa dan puji-pujian dilantunkan, permohonan keselamatan kepada Sang Maha Besar dipanjatkan. Tak lupa doa juga diberikan kepada Ki Sapu Jagad, penjaga Merapi.

Suasana khusyuk tercipta. Semua orang yang menyaksikan dan hadir pada saat itu turut membacakan doa dan permohonannya masing-masing. Seperti Murni, peziarah yang datang dari Jakarta ini ingin mendapat berkah dari kunjungannya kali ini. “Saya ingin mendapatkan ketenangan batin,” ujarnya saat ditemui.

Ia merasa heran dengan para abdi keraton yang seolah mendapat ketentraman hati. Padahal bila dilihat dari ukuran gaji, abdi keraton ini menerima upah yang-menurut ukuran orang zaman sekarang- terbilang kecil, antara 4000 rupiah hingga 7500 rupiah per bulan.

Murni membandingkannya dengan kehidupan orang-orang di Jakarta. Menurutnya, kehidupan di kota besar sangat sulit baginya untuk mendapatkan ketenangan batin.

Setengah jam kemudian, ritual diakhiri dengan pembagian sesajen kepada para peziarah. Meski pihak abdi dalem telah mengatur penjatahan di depan gerbang Hargo Dalem, para peziarah tetap saja berebutan mengambil, pakaian, kembang, kue apem, ayam bakar yang tersedia di sesajen.

Seperti tahun lalu, kali ini upacara Labuhan Merapi yang jatuh tanggal 4 Agustus 2008 tetap melewati jalur yang sama. Kirab dimulai dari kediaman Mbah Maridjan pukul 6.30 WIB. Kemudian menyusuri jalan setapak menuju arah Gunung. Kira-kira 6 kilometer, arak-arakan tiba di Hargo Dalem.

Labuhan Merapi merupakan perayaan sakral tradisi Jawa dalam rangka penobatan Sultan dan . Seremoni ini satu rangkaian dengan Labuhan Alit yang telah dilaksanakan di Pantai Parang Kusumo pada hari Minggu pagi (3/08).Perayaan ini selalu diadakan pada tiap tanggal 30 bulan Rejeb sesuai penanggalan kalender Jawa.(hen)
(selengkapnya...»)

Minggu, 03 Agustus 2008

Ngerayah di Labuhan Alit

Hendy Adhitya -Teras online
Foto oleh Thomas Adhitya


Yogyakarta (03/08/08) -- Menyan yang telah ditabur di atas tungku kemudian dibakar. Aromanya yang khas menyebar di sekitar lokasi Cerupi Mataram. Para abdi dalem kraton mulai komat-kamit memanjatkan doa kepada Sang Khalik.

Usai memohon doa yang dibawakan secara Islam, prosesi lanjutan dari Labuhan Alit di Pantai Parang Kusumo ini adalah mengubur salah satu uba rampe. Uba rampe ini terdiri dari pakaian bekas dan potongan kuku Sultan selama satu tahun.

Sembari mengubur uba rampe, serombongan ibu-ibu abdi dalem berkebaya hitam menghampiri dua buah batu hitam di tengah Cepuri. Konon, di situ merupakan tempat semedi Panembahan Senopati (Raden Sutawijaya –pen). Mereka lalu menabur kembang dan memohon doa keselamatan bagi Sultan dan Kawula Mataram.

Kurang lebih 15 menit, para abdi dalem beranjak dari Cerupi. Mereka semua melanjutkan ritual menuju arah pantai. Dua uba rampe lain yang tidak dikubur dipanggul beramai-ramai oleh para cantrik bercelana kuning.

Tiba di bibir pantai, seorang panewu, pemimpin abdi dalem menyetop rombongan dan memimpin doa kembali. Ratusan wisatawan lokal dan mancanegara yang hadir pada saat itu tidak menyia-nyiakan momen ini. Antusiasme pengunjung terlihat dari kumpulan yang menyemut di sekitar prosesi ini.

Setelah pembacaan doa, uba rampe yang berisi pakaian Sultan dan kembang dilarung ke laut. Usaha melarung ke laut ini nampaknya cukup sulit dilakukan. Mengingat ombak Pantai Parang Kusumo yang besar.

Berkali-kali para cantrik berusaha mendorong uba rampe, namun sesaji yang dibentuk rapi dalam daun pisang ini malah kembali ke pantai dan keburu di­rayah (diambil-pen) para pengunjung. Rebutan sesaji terjadi. Seolah mereka menghiraukan kerasnya deburan ombak siang itu.

Menurut kepercayaan masyarakat sekitar, apabila seseorang bisa mendapatkan barang-barang yang terdapat dalam uba rampe maka rezeki hidupnya bakal baik.

Seorang pria paruh baya berbaju putih berjalan menghampiri. Sekujur tubuhnya basah kuyup akibat berebut sesaji di tepi laut. Ia tampak lelah namun senyumnya menyeringai lebar. Di tangan kirinya tergenggam satu setel destar hasil perolehannya.

Namun, menurut Kardi (53), abdi dalem kraton yang mengikuti Labuhan Alit ini mengatakan, seharusnya pengunjung ngerayah setelah uba rampe dan isinya ”dipecah” oleh ombak dan gelombang laut. ”Mustinya mengambilnya di sore hari atau keesokan harinya.” ujarnya saat diwawancarai usai upacara.

Labuhan Alit yang diadakan tiap tahun di akhir Rejeb ini selain merayakan Tingalan Jumenengan Dalem Nata (penobatan Sultan-pen) juga memperingati perjanjian kerja sama Kanjeng Ratu Kidul dengan panembahan senopati.


Awal Mula Labuhan Alit
Dahulu, Cepuri Mataram yang terletak hanya berjarak satu kilometer dari bibir Pantai Parang Kusumo ini merupakan tempat perahu Raden Sutawijaya terdampar dan melakukan semedi. Waktu itu Sutawijaya bermaksud meminta petunjuk dan jalan keluar kepada Tuhan atas kesulitannya membangun kraton.

Sewaktu melakukan ritual, prajurit lelembut Laut Selatan merasakan hawa panas yang mengganggu. Setelah dilihat hawa panas itu berasal dari Sutawijaya, prajurit lelembut ini melapor kepada Kanjeng Ratu Kidul.

Begitu kagetnya Sutawijaya saat ia mengetahui dirinya didatangi seorang laksmi. Ia mengira Kanjeng Ratu Kidul merupakan utusan Tuhan. Saat ditanya maksud dan tujuannya, Sutawijaya menjawab, ”saya ingin membangun kraton.” Ia juga memohon supaya kerajaannya nanti dijauhi dari mara bahaya.

Permohonan tersebut dikabulkan penguasa Laut Selatan itu dengan syarat. Sutawijaya harus memperistrinya. Keduanya pun mencapai kata sepakat. Hingga kini peristiwa yang dinamai Labuhan Alit tersebut selalu dirayakan setiap tahun di tanggal 30 Rejeb menurut Kalender Jawa.


Setelah Hamengku Buwono X
 
Kebudayaan Jawa di samping banyak memiliki cerita, legenda dan mitos juga sarat dengan filosofi dan makna. Salah satunya adalah Labuhan Alit ini. Kardi (53), salah satu abdi dalem kraton yang bertugas pada ritual saat itu merasa khawatir apabila budaya asli Jawa semacam ini menghilang.

”Saya juga tidak tahu karena Sultan sendiri tidak punya anak laki-laki. Apakah ini akan dialihkan ke menantunya atau tidak, itu nanti akan dijelaskan saat pisowanan
(pertemuan di keraton - pen),” katanya.

Menurutnya, meski tahta pada akhirnya diserahkan kepada menantunya, ritual seperti ini sebenarnya menuntut kemurnian dari garis keturunan Sultan. ”Ya pada akhirnya ini akan sedikit menyimpang,” ujar abdi dalem yang telah mengabdi sejak tahun 1976 ini.(hen)
(selengkapnya...»)

Jumat, 01 Agustus 2008

Animasi dalam Seni Rupa

Hendy Adhitya - Teras online

Yogyakarta
(01/08/08) -- Kepala anjing itu tengadah, sementara di atasnya seorang perempuan muncul dari kelopak bunga berwarna merah nampak menjilat tulang yang dibawa di tangan kanannya. Bruno and Red Lily, digambar di atas kanvas berukuran 200 x 150 cm. Karya perupa Kokok Suratmoko itu dipamerkan bersama 17 perupa lain di Jogja National Museum (JNM), Gampingan, Yogyakarta.

Mereka adalah Kampret, Rocka Radipa, Bofag, Farid, Singgih Dwi, Fredy Candra, Satriya Anggun, Paimo, Arif Herdian, Evan Christiawan, Tommy Surya, Istasius, Malaikat, Julian ‘Togar’ Abraham, Krisgatha, Wimo A Bayang, Uji Hahan Handoko.

Pameran yang diadakan oleh VIVIDanimamix, sebuah komunitas seni animasi dan komik dari Yogyakarta ini menampilkan 29 karya seni rupa dan empat buah karya seni instalasi. Semua karya yang dieksibisikan mendapat pengaruh dari animasi dan komik luar negeri. Seperti karya Fredy Candra, I am Ready, yang menampilkan sohib Batman, Robin dengan bayang-bayang hijau Penguin, musuh mereka.

Pameran yang berlangsung mulai hari ini (01/8) hingga 5 Agustus 2008 mengambil tema Electric Youth. Sewaktu ditanyai alasan pengambilan tema, penyelenggara pameran Handra yang ditemui di sela pembukaan pameran (01/8) mengatakan, “Kita buat karya yang happy, kita bikin karya yang fun buat anak muda.”

Ia juga menambahkan kini banyak seniman-seniman yang mulai mengekspresikan karyanya dengan menggabungkan gaya komik dan animasi. Khususnya manga Jepang. Apalagi VIVIDanimamix mengklaim tengah mengusung cabang seni baru, yaitu karya seni yang terpengaruh dari animasi dan komik. “Karyanya bisa macam-macam, patung dan lukisan,” ujarnya. Rencananya pameran ini akan berlanjut di Jakarta, Singapura, Malaysia dan Jepang.(hen)
(selengkapnya...»)