Minggu, 03 Agustus 2008

Ngerayah di Labuhan Alit

Hendy Adhitya -Teras online
Foto oleh Thomas Adhitya


Yogyakarta (03/08/08) -- Menyan yang telah ditabur di atas tungku kemudian dibakar. Aromanya yang khas menyebar di sekitar lokasi Cerupi Mataram. Para abdi dalem kraton mulai komat-kamit memanjatkan doa kepada Sang Khalik.

Usai memohon doa yang dibawakan secara Islam, prosesi lanjutan dari Labuhan Alit di Pantai Parang Kusumo ini adalah mengubur salah satu uba rampe. Uba rampe ini terdiri dari pakaian bekas dan potongan kuku Sultan selama satu tahun.

Sembari mengubur uba rampe, serombongan ibu-ibu abdi dalem berkebaya hitam menghampiri dua buah batu hitam di tengah Cepuri. Konon, di situ merupakan tempat semedi Panembahan Senopati (Raden Sutawijaya –pen). Mereka lalu menabur kembang dan memohon doa keselamatan bagi Sultan dan Kawula Mataram.

Kurang lebih 15 menit, para abdi dalem beranjak dari Cerupi. Mereka semua melanjutkan ritual menuju arah pantai. Dua uba rampe lain yang tidak dikubur dipanggul beramai-ramai oleh para cantrik bercelana kuning.

Tiba di bibir pantai, seorang panewu, pemimpin abdi dalem menyetop rombongan dan memimpin doa kembali. Ratusan wisatawan lokal dan mancanegara yang hadir pada saat itu tidak menyia-nyiakan momen ini. Antusiasme pengunjung terlihat dari kumpulan yang menyemut di sekitar prosesi ini.

Setelah pembacaan doa, uba rampe yang berisi pakaian Sultan dan kembang dilarung ke laut. Usaha melarung ke laut ini nampaknya cukup sulit dilakukan. Mengingat ombak Pantai Parang Kusumo yang besar.

Berkali-kali para cantrik berusaha mendorong uba rampe, namun sesaji yang dibentuk rapi dalam daun pisang ini malah kembali ke pantai dan keburu di­rayah (diambil-pen) para pengunjung. Rebutan sesaji terjadi. Seolah mereka menghiraukan kerasnya deburan ombak siang itu.

Menurut kepercayaan masyarakat sekitar, apabila seseorang bisa mendapatkan barang-barang yang terdapat dalam uba rampe maka rezeki hidupnya bakal baik.

Seorang pria paruh baya berbaju putih berjalan menghampiri. Sekujur tubuhnya basah kuyup akibat berebut sesaji di tepi laut. Ia tampak lelah namun senyumnya menyeringai lebar. Di tangan kirinya tergenggam satu setel destar hasil perolehannya.

Namun, menurut Kardi (53), abdi dalem kraton yang mengikuti Labuhan Alit ini mengatakan, seharusnya pengunjung ngerayah setelah uba rampe dan isinya ”dipecah” oleh ombak dan gelombang laut. ”Mustinya mengambilnya di sore hari atau keesokan harinya.” ujarnya saat diwawancarai usai upacara.

Labuhan Alit yang diadakan tiap tahun di akhir Rejeb ini selain merayakan Tingalan Jumenengan Dalem Nata (penobatan Sultan-pen) juga memperingati perjanjian kerja sama Kanjeng Ratu Kidul dengan panembahan senopati.


Awal Mula Labuhan Alit
Dahulu, Cepuri Mataram yang terletak hanya berjarak satu kilometer dari bibir Pantai Parang Kusumo ini merupakan tempat perahu Raden Sutawijaya terdampar dan melakukan semedi. Waktu itu Sutawijaya bermaksud meminta petunjuk dan jalan keluar kepada Tuhan atas kesulitannya membangun kraton.

Sewaktu melakukan ritual, prajurit lelembut Laut Selatan merasakan hawa panas yang mengganggu. Setelah dilihat hawa panas itu berasal dari Sutawijaya, prajurit lelembut ini melapor kepada Kanjeng Ratu Kidul.

Begitu kagetnya Sutawijaya saat ia mengetahui dirinya didatangi seorang laksmi. Ia mengira Kanjeng Ratu Kidul merupakan utusan Tuhan. Saat ditanya maksud dan tujuannya, Sutawijaya menjawab, ”saya ingin membangun kraton.” Ia juga memohon supaya kerajaannya nanti dijauhi dari mara bahaya.

Permohonan tersebut dikabulkan penguasa Laut Selatan itu dengan syarat. Sutawijaya harus memperistrinya. Keduanya pun mencapai kata sepakat. Hingga kini peristiwa yang dinamai Labuhan Alit tersebut selalu dirayakan setiap tahun di tanggal 30 Rejeb menurut Kalender Jawa.


Setelah Hamengku Buwono X
 
Kebudayaan Jawa di samping banyak memiliki cerita, legenda dan mitos juga sarat dengan filosofi dan makna. Salah satunya adalah Labuhan Alit ini. Kardi (53), salah satu abdi dalem kraton yang bertugas pada ritual saat itu merasa khawatir apabila budaya asli Jawa semacam ini menghilang.

”Saya juga tidak tahu karena Sultan sendiri tidak punya anak laki-laki. Apakah ini akan dialihkan ke menantunya atau tidak, itu nanti akan dijelaskan saat pisowanan
(pertemuan di keraton - pen),” katanya.

Menurutnya, meski tahta pada akhirnya diserahkan kepada menantunya, ritual seperti ini sebenarnya menuntut kemurnian dari garis keturunan Sultan. ”Ya pada akhirnya ini akan sedikit menyimpang,” ujar abdi dalem yang telah mengabdi sejak tahun 1976 ini.(hen)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar