Sabtu, 20 September 2008

Ketika 'Suara Malam' Berbicara.

Dany Ismanu - Teras Online

Babarsari (20/09/08) -- Sociologi Study Club (SSC) Universitas Atma Jaya Yogyakarta menandai perayaan hari ulang tahunnya dengan pemutaran dan diskusi film "Menggugat Lewat Suara Malam". Pemutaran dan diskusi film dilangsungkan siang tadi (20/09), di ruang kelas 4006 FISIP UAJY pada pukul 10.00 WIB.

Menggugat Lewat Suara Malam, sebuah film pendek yang berkisah tentang kehidupan pekerja seks komersil (PSK) kawasan Yogyakarta. PKBI sebagai LSM yang terkait, menjadi mediator bersama dengan kawan-kawan dari Kotak Hitam. Menariknya, proses pembuatan atau produksi film ini diserahkan sepenuhnya kepada para pekerja seks. Merekalah sutradara, penulis naskah, kameramen, sekaligus 'artis'-nya.

"Sulit mas, setelah skenario jadi, kita bersikukuh, kita tidak akan malu bahwa kita adalah lacur," ungkap Bety sang sutradara, di sela-sela diskusi. Kesulitan utamanya memang meyakinkan para PSK yang akan diajak terlibat dalam proses pembuatan film. "Saya kagum dengan teman-teman, mereka dapat mempersuasi teman-teman yang lain untuk ikut berpartisipasi," ujar Andrew koordinator SSC, sekaligus orang yang terjun langsung sebagai fasilitator dalam proses produksi.

Proses praproduksi sendiri diawali dengan workshop dan sebuah forum yang dilangsungkan di kawasan Pasar Kembang, Yogyakarta. "Di sana kita mengkategorikan permasalahan, dari seputar HIV, kanker, permasalahan kesehatan lainnya, stigma dari masyarakat, sampai dengan HAM dalam arti perlakuan terhadap PSK," jelas Andrew. Yang kemudian menjadi fokus utama adalah bagaimana perlakuan (kekerasan) yang diterima PSK, baik dari keluarga, masyarakat, terutama peran Satpol PP yang sering melakukan razia.

Film ini banyak bercerita tentang kerasnya perlakuan Satpol PP ketika melakukan razia malam hari. Dijambak, diseret, dicubit, bahkan dipukul, seakan menjadi biasa mendarat pada tubuh para PSK ketika mereka terkena razia. Film ini pun mencoba mengkritik hal tersebut dan lebih luas lagi PERDA pelacuran yang berlaku di Yogyakarta.

"Ini dari kita, untuk kita, dan untuk penerus kita," kenang Bety ketika berusaha meyakinkan kawan-kawannya untuk dapat ikut terlibat. "Walaupun kita PS (pekerja seks -red) kita tidak ingin dipandang sebelah mata," lanjutnya.

Menurut Andrew sendiri, film atau video ini memang dipatok hanya menjadi sebuah medium dan awalan serta eksklusif untuk komunitas. Advokasi lebih lanjut mengharapkan partisipasi masyarakat luas yang memang tidak mudah.(dny)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar